top of page
  • Black Facebook Icon
  • Black YouTube Icon
  • Black Instagram Icon

Menyapa Syukwes di pelosok Tambrauw

  • F. Adi Purnama
  • Feb 4, 2018
  • 3 min read

Menerjang Deras Air Sungai Kwoor


Syukwes, sebuah nama yang asing ditelinga, baik bagi saya ataupun mungkin bagi kalian yang membaca ini. Syukwes adalah nama sebuah kampung yang ada di Kabupaten Tambrauw Papua Barat. Letaknya termasuk ke dalam wilayah distrik kwesefo, ke arah timur laut dari ibukota Sausapor (nama ibukota Tambrauw). Secara administratif, kampung ini dapat dikatakan cukup terpencil. Sungai kwoor yang menjadi urat nadi kelangsungan hidup,baik bagi fauna maupun manusianya, notabenya merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Kabupaten Tambrauw, yang secara tidak langsung telah membelah dan menjadikan syukwes sebagai wilayah yang terisolir dan kurang mendapatkan perhatian. Hal ini menjadikan syukwes sebagai salah satu wilayah yang lebih lambat dalam hal pembangunan, pendidikan ataupun pelayanan kesehatan dibandingkan kampung lainya di Tambrauw. Belum adanya pasukan listrik di kampung ini, menjadi salah satu buktinya.



Perjalanan menuju syukwes harus dilalui melalui jalur darat dan sungai. Perjalanan darat ditempuh dengan 1 ½ jam, dari sausapor ke tepi hilir sungai kwoor. Petualangan sesungguhnya baru akan dimulai dengan menembus aliran sungai Kwoor ke arah hulu selama kurang dari 2 jam perjalanan. Dahulu sebelum adanya kole-kole (perahu keci) milik kepala distrik ataupun bantuan dari pemerintah setempat, masyarakat harus berjalan kaki memutari gunung selama beberapa hari untuk bisa turun ke werur / sausapor. Rasa was was menyelimuti perjalanan kala itu, selain karena kendaraan kayu ini berjalan oleng dan rentan terbalik, menurut kabar yang ada, sepanjang aliran sungai kwoor masih dihuni oleh banyak buaya muara. Namun rasa cemas kami perlahan luntur dan berubah menjadi takjub, menjulangnya kayu-kayu raksasa yang padat berhimpit khas belantara hutan Papua di kanan dan kiri kami, membuat kami merasa seperti sedang berada di amazon brazil versi tropis ataupun kisah petualangan ke negeri fantasi.



Syukwes dengan segala keterasinganya



Kedatangan kami pun disambut hangat dengan tarian tumbuk tanah tradisi suku Abun, sebagai tanda penghormatan dan diterimanya kami bertamu ke tempat mereka. Suku Abun sendiri merupakan salah satu suku pribumi di Tambrauw. Kampung Syukwes hanya memiliki beberapa rumah yang berjejer rapi, dimana jumlah penduduknya hanya berkisar puluhan orang saja, dimana keseharian aktifitas warganya berladang dan berburu, memanfaatkan alam sebagai sumber kelangsungan penghidupannya. Warganya juga menggunakan bahasa abun sebagai bahasa ibu mereka, hanya beberapa orang saja yang dapat berbahasa Indonesia.



Tujuan kedatangan kami ke syukwes adalah melakukan giat penelitian dan memberikan bantuan logistik pendidikan dan obat-obatan. Syukwes sangat jarang mendapat bantuan pelayanan ksehatan, tercatat hanya beberapa kali saja tenaga kesehatan berkunjung kesana. Maka saat kami datang, warga kampung langsung memadati salah satu bangunan balai desa yang kami jadikan tempat pengobatan. Umumnya anak-anak kampung syukwes belum mengkonsumsi obat cacing, sehingga banyak dari mereka yang mengidap cacingan, sedangkan para orang tua memiliki keluhan beragam terhadap kesehatan mereka.



Syukwes sendiri hanya memiliki satu sekolah dasar, dimana tenaga pengajar hanya terdiri dari 2 orang saja, satu orang sebagai guru tetap, dan satu orang lagi merupakan guru SM3T yang di tempatkan disana. Guru SM3T sendiri merupakan seorang relawan pendidikan yang mengabdikan diri untuk mengajar didaerah-daerah terpencil nusantara selama satu tahun. Menurut penuturan guru SM3T, sekolah tersebut pernah sempat berhenti beberapa tahun kebelakang dikarenakan tidak adanya pengajar disana. Hanya ada 2 ruang kelas di sekolah ini, sehingga anak kelas 1-4 harus rela berbagi tempat belajar pada waktu dan tempat yang sama. Anak-anak murid di syukwes umumnya banyak yang terlambat mengenyam bangku sekolah, sebagai contoh anak kelas 1 baru masuk sekolah di usia 10 tahun. Rata-rata umur murid lebih tua 3-5 tahun dari kondisi ideal. Namun jangan salah, hal itu tidak menyurutkan semangat anak-anak dalam menuntut ilmu. “ Semangat belajar dan rasa ingin tahu mereka sangat tinggi, mereka selalu hadir dan tidak pernah ada yang membolos sekolah”, ujar jeje seorang guru SM3T disana. Ia yang sebentar lagi habis masa pengabdianya, tidak tahu bagaimana kelangsungan murid-muridnya kelak. Harapannya semoga ada bantuan penambahan guru atau guru lain yang akan menggantikan perannya disana, agar kegiatan sekolah dapat terus berjalan di kampung Syukwes. Semoga saja dinas pendidikan dan pemerintah daerah setempat dapat mewujudkan dan menciptakan kehidupan yang lebih baik di kampung ini.


 
 
 

Comentários


Featured Posts
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Recent Posts
Archive
Search By Tags
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square

© 2018 by ferry adita purnama

  • White YouTube Icon
  • White Instagram Icon
bottom of page